Berdirinya
Orde Baru
Rakyat marah setelah mengetahui dalang
dari gerakan pemberontakan 30 September 1965
adalah PKI. Marahnya rakyat diikuti oleh demonstrasi yang menuntut pembubaran
PKI.
Di
sisi lain, keadaan ekonomi masyarakat Indonesia semakin memburuk. Kebutuhan
pokok semakin sulit didapat dan harganya pun mahal sehingga inflasi tak
terelakkan. Pemerintah mengambil beberapa kebijakan seperti pemotongan nilai
mata uang rupiah dari Rp1.000,00 menjadi Rp1,00. Namun hal itu tidak merubah
keadaan, harga tidak semakin menurun. Masyarakat yang menunggu pemecahan
masalah politik tidak ditanggapi oleh pemerintah. Pemerintah belum membubarkan
PKI sehingga para pemuda, mahasiswa, dan pelajar mulai bertindak.
Untuk
menumpas para pendukung G 30 S/PKI, maka dibentuklah Front Pancasila yang
terdiri atas beberapa unsur. Mereka menutut dilaksanakan penyelesaian politis terhadap
mereka yang terlibat dalam gerakan 30 September. Beberapa kesatuan aksi yang
muncul menentang G 30 S/PKI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI),
Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI),
an lain-lain. Mereka tergabung dalam Front Pancasila dan lebih dikenal sebagai
Angkatan’66.
Pada tanggal 12 Januari 1966 Angkatan
’66 berkumpul di halaman Gedung DPR GR untuk mengajukan Tru Tuntutan Rakyat
(Tritura) yang berisi:
1.
pembubaran PKI,
2.
pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30
S/PKI, dan
3.
penurunan harga.
Pada
tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumukan perubahan kabinet. Tapi
ternyata perubahan kabinet tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak
tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI berada dalam kabinet baru yang terkenal
dengan dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.
Pada
tanggal 24 Februari 1966 saat pelantikan kabinet, Front Pncasila memenuhi
jalan-jalan menuju Istana Merdeka tapi
dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa hingga menimbulkan bentrok. Aksi tersebut
membuat seorang mahasiswa Universias Indonesia, Arif Rahman Hakim, gugur karena
tertembak oleh Cakrabirawa.
Sebelum
itu pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Sukarno dan Letjen Suharto berbeda
pendapat untuk membubarkan PKI atau tidak. Menurut Suharto, satu-satunya jalan
keluar untuk meredakan krisis dalam negeri adalah dengan menumpas PKI beserta
antek-anteknya. Sedngkan Sukrno berpendapat bahwa pembubaran PKI mustahil
dilakukan karena akan menimbulkan inkonsistensi terhadap prinsip Nasakom yang
telah menjadi dasar pemikirn politik Indonesia pada saat itu.
Menghadapi
situasi tersebut, Sukarno mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Maret 1966 yang
dihadiri olehberbagai partai politik..
Daam pertemuan itu, Sukarno menytakan pendapatnya dan menekankan agar
partai-partai politikdan berbagai oranisasi massa yang hadir menolak dan
mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan tritura. Pertemuan tersebut
berakhir dengan deadlock karena
keinginan Presiden Sukarno bertenteangan dengan permintaan Front Panscasila
terutama pembubaran PKI
Tanggal
11 Maret 1966 digelar rapat sidang paripurna yang beragenda merumuskan
langkah-langkah keluar dari krisis ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak
"pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal".
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi
(AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir
Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir
Jendral Basuki Rahmat.
Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga
perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan
ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan
situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa
yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral
(purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu
dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah
Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang
ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di
Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul
01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari
Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966
sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar
itu tiba.
0 comments:
Post a Comment