Monday, February 11, 2013

Posted by Unknown On 5:11 AM

Berdirinya Orde Baru
Rakyat marah setelah mengetahui dalang dari gerakan pemberontakan 30 September 1965 adalah PKI. Marahnya rakyat diikuti oleh demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI.
Di sisi lain, keadaan ekonomi masyarakat Indonesia semakin memburuk. Kebutuhan pokok semakin sulit didapat dan harganya pun mahal sehingga inflasi tak terelakkan. Pemerintah mengambil beberapa kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang rupiah dari Rp1.000,00 menjadi Rp1,00. Namun hal itu tidak merubah keadaan, harga tidak semakin menurun. Masyarakat yang menunggu pemecahan masalah politik tidak ditanggapi oleh pemerintah. Pemerintah belum membubarkan PKI sehingga para pemuda, mahasiswa, dan pelajar mulai bertindak.
Untuk menumpas para pendukung G 30 S/PKI, maka dibentuklah Front Pancasila yang terdiri atas beberapa unsur. Mereka menutut dilaksanakan penyelesaian politis terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan 30 September. Beberapa kesatuan aksi yang muncul menentang G 30 S/PKI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), an lain-lain. Mereka tergabung dalam Front Pancasila dan lebih dikenal sebagai Angkatan’66.
Pada tanggal 12 Januari 1966 Angkatan ’66 berkumpul di halaman Gedung DPR GR untuk mengajukan Tru Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi:
1.         pembubaran PKI,
2.         pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI, dan
3.         penurunan harga.
Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumukan perubahan kabinet. Tapi ternyata perubahan kabinet tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI berada dalam kabinet baru yang terkenal dengan dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.
Pada tanggal 24 Februari 1966 saat pelantikan kabinet, Front Pncasila memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka  tapi dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa hingga menimbulkan bentrok. Aksi tersebut membuat seorang mahasiswa Universias Indonesia, Arif Rahman Hakim, gugur karena tertembak oleh Cakrabirawa.
Sebelum itu pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Sukarno dan Letjen Suharto berbeda pendapat untuk membubarkan PKI atau tidak. Menurut Suharto, satu-satunya jalan keluar untuk meredakan krisis dalam negeri adalah dengan menumpas PKI beserta antek-anteknya. Sedngkan Sukrno berpendapat bahwa pembubaran PKI mustahil dilakukan karena akan menimbulkan inkonsistensi terhadap prinsip Nasakom yang telah menjadi dasar pemikirn politik Indonesia pada saat itu.
Menghadapi situasi tersebut, Sukarno mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Maret 1966 yang dihadiri  olehberbagai partai politik.. Daam pertemuan itu, Sukarno menytakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politikdan berbagai oranisasi massa yang hadir menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan tritura. Pertemuan tersebut berakhir dengan deadlock karena keinginan Presiden Sukarno bertenteangan dengan permintaan Front Panscasila terutama pembubaran PKI
Tanggal 11 Maret 1966 digelar rapat sidang paripurna yang beragenda merumuskan langkah-langkah keluar dari krisis ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden'  Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal".
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

0 comments:

Post a Comment